Pertumbuhan penduduk kota yang sangat pesat menyebabkan tekanan yang sangat besar pada kawasan pesisir. Perlu planning yang baik, untuk mendapatkan tambahan lahan bagi pemukiman dan kegiatan usaha. Reklamasi kawasan laut, kadang-kadang diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut.
Beberapa kasus kawasan reklamasi pantai dapat dilihat pada kawasan laut Jakarta, sebagaimana dalam rencana tata ruang kota, kawasan laut utara Jakarta ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung/hutan bakau, namun pada kawasan tersebut telah bekembang pembangunan perumahan, sehingga berdampak antara lain terjadinya banjir pada kawasan yang lebih luas. Reklamasi laut merupakan kebutuhan bagi pengembangan kota Jakarta, pengurugan laut Jakarta bertujuan untuk memperluas wilayah yang dimanfaatkan untuk kegiatan perekonomian.
Reklamasi pada dasarnya adalah proses pembuatan daratan baru di lahan yang tadinya tertutup oleh air, seperti misalnya bantaran sungai atau pesisir pantai. Kawasan baru tersebut biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis, pelabuhan udara, pertanian, dan pariwisata, dalam kenyataannya reklamasi ini memiliki dampak positip dan negatif kepada lingkungan hidup dan masyarakat di sekitarnya. Reklamasi laut menyebabkan terganggunya ekosistem yang menyebabkan banyaknya nelayan yang kehilangan mata pencaharian serta menyebabkan bencana alam di lokasi lain di luar daerah reklamasi.
Di Indonesia sendiri, terjadi perdebatan mengenai pro dan kontra dari kegiatan reklamasi yang akan dilakukan di wilayah Teluk Benoa, Bali. Selain perdebatan mengenai kegiatan reklamasi ini juga diduga ada penyelewengan hukum akibat diubahnya status wilayah Teluk Benoa dari kawasan konservasi (ditegaskan melalui Pasal 93 Peraturan Presiden 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita) menjadi kawasan pemanfaatan umum (melalui Peraturan Presiden 51 Tahun 2014) dan diijinkan untuk melakukan kegiatan reklamasi seluas maksimal 700 hektar.
Kebijakan laut ini juga berperan penting dalam reklamasi laut yang seharusnya pelaksanaan reklamasi laut ini terdapat sebuah kewajiban dari pemerintah. Pemerintah seharusnya memberikan perlindungan hukum dalam rangka pembangunan wilayah maritim yang meliputi: pengelolaan Sumber Daya Kelautan; pengembangan SDM, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; peningkatan kesejahteraan; ekonomi kelautan dan pengelolaan ruang laut.
Kebijakan tersebut pada dasarnya telah tercantum dalam Rencana Umum Kelautan Nasional (RUKN), yang memuat substansi fundamental dan strategis (dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang). RUKN berfungsi sebagai :
- Acuan dan pedoman bagi Kementerian/Lembaga (K/L) dalam menyusun perencanaan pengelolaan kelautan.
- Acuan dan pedoman penyusunan Rencana Kerja K/L terkait dengan pengelolaan kelautan.
- Pedoman dalam melakukan koordinasi perencanaan umum kelautan antar sektor, antar instansi terkait di pusat dan daerah.
- Pengendalian kegiatan pembangunan nasional sektor kelautan.
- Acuan bagi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian PPN/Bappenas untuk melakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan di bidang kelautan yang bersifat lintas sektoral.
Akibat terbesar dari kegiatan ini adalah lingkungan. Kerusakan lingkungan bisa dipastikan akan terjadi, tak hanya ketika proyek reklamasi telah usai, namun saat baru akan direncanakan saja, proyek reklamasi sudah bisa emmakan banyak korban. Misalnya secara tinjauan sosiologis, yang akan mengancam jiwa para nelayan disekitar pesisir. Persiapan proyek reklamasi yang akan mendatangkan alat-alat berat juga mencemari udara di sekitarnya, sehingga lagi-lagi nelayan dan masyarakat disekitar proyek terdampak reklamasi harus menerima kenyataan pahit terpapar polusi.
Pengaturan mengenai lingkungan sendiri telah di atur dalam UU No. 32 Thn 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini menjamin dalam pelaksanaan pembangunan diharapkan adanya keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan komponen lingkungan lainnya, serta dapat memenuhi masa kini dan menjaga kelestarian untuk masa dating. Dampak lingkungan hidup yang sudah jelas tampak di depan mata akibat proyek reklamasi itu adalah kehancuran ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman hayati yang diperkirakan akan punah akibat proyek reklamasi itu antara lain berupa hilangnya berbagai spesies mangrove, punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya.
Alhasil, perlu kiranya pemerintah sebagai pembuat kebijakan, memahami dengan betul jika ada rencana ingin melakukan reklamasi wilayah pesisir seperti yang akhir-akhir ini ingin dilakukan di Teluk Jakarta maupun Teluk Benoa, Bali. Ketika pahaman pemangku kebijakan bisa berdampak pada kerusakan lingkungan, yang tentunya tak hanya berimbas pada kelestarian hidup masyarakat di wilayah pesisir, tapi juga mengancam ekosistem dan habitat biota laut dan sejenisnya. Sehingga evaluasi kebijakan terkait reklamasi perlu segera dilakukan. LSM dan masyarakat pemerhati lingkungan juga diharapkan ikut ambil bagian dalam upaya penyelamatan lingkungan ini.
Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Menteri PU No. 40/PRT/M Tahun 2007 – BKPRN.
___
Kontributor : Nurul Aulia
Sumber Gambar :https://perencanaankota.blogspot.com/