GUBUKINSPIRASI.COM – Bagi orang Ibu Kota, Basuki Rachmat dikenal sebagai nama jalan di Jakarta Timur. Basuki Rachmat adalah sosok elite militer terkemuka dalam cerita Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Namanya kadang ditulis sebagai Basuki Rakhmat, Basoeki Rachmat, atau Basuki Rahmat, paling sering ditulis Basuki Rachmat. Dia adalah sosok yang ke sana-kemari memproses Supersemar. Dia bersama dua perwira tinggi lainnya menjadi perantara Soeharto ke Sukarno.
Ditulis RM Subantardjo dalam buku ‘Jenderal Anumerta Basuki Rachmat’, Basuki lahir di Tuban pada 14 November 1921. Atas jasa dan perjuangannya, Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 1/TK/1969 tanggal 9 Januari 1969.
“Pada masa Sukarno, Basuki Rachmat berperan dalam lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Pada masa Soeharto dia menduduki jabatan Mendagri,” demikian keterangan dalam data Pahlawan Nasional, situs web Kementerian Sosial.
Selain itu, banyak jasa dia sejak zaman Jepang. Dia membentuk batalion Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Ngawi setelah TKR terbentuk pada 5 Oktober 1945. Dia juga menjadi Panglima Komando Daerah Militer VIII (Kodam VIII/Brawijaya) serta Deputi Khusus Panglima Angkatan Darat.
Kembali ke sejarah Supersemar, Basuki ada dalam pusat cerita 11 Maret 1966. Kala itu dia yang menjabat Menteri Dalam Negeri di Kabinet Dwikora II periode pemerintahan Presiden Sukarno.
11 Maret 1966, rapat berlangsung di Istana Kepresidenan Jakarta. Rapat dipimpin oleh Sukarno. Basuki hadir. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat sekaligus Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) tidak ikut rapat. Alasannya sakit tenggorokan.
Saat itu, tiba-tiba di sekitar Istana Kepresidenan Jakarta berseliweran pasukan tanpa identitas yang mengepung. Belakangan diketahui, ini adalah pasukan dari Mayjen TNI Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam situasi tidak aman ini, Sukarno segera meninggalkan Istana Kepresidenan Jakarta untuk pulang ke Bogor.
“Peristiwa sidang kabinet itu. Sidang kabinet, tanggal 11, kemudian ada berita Istana dikepung. Saya kebetulan nggak hadir waktu itu, sedang kumat sakit tenggorokan,” kata Soeharto pada 6 Februari 1994, dilansir kanal YouTube HM Soeharto.
Selanjutnya, Istana Kepresidenan Jakarta dikepung, Sukarno langsung pulang ke Bogor, Basuki Rachmat menemui Soeharto:
Konon, Sukarno langsung terbang ke Bogor naik helikopter. Adapun Basuki kemudian memilih ke rumah Soeharto di Jl KH Agus Salim. Basuki tidak sendiri, ada dua menteri lainnya, yakni Menteri Perindustrian Brigjen M Jusuf dan Panglima Kodam V Jaya Amirmachmud. Mereka minta izin ke Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat untuk berangkat menemani Sukarno di Istana Bogor, supaya Sukarno tidak merasa dikucilkan di situasi beberapa bulan usai G30S/PKI itu.
Soeharto berpesan agar disampaikan Basuki dkk ke Sukarno, salah satunya yang terpenting, “Sampaikan saja, kalau saya diberi kepercayaan, keadaan ini (situasi negara) akan saya atasi.”

Berangkatlah Basuki dan dua orang lainnya ke Bogor membawa pesan Soeharto. Soeharto sendiri menyatakan tidak memberi Basuki dkk surat untuk diteken Sukarno, melainkan sekadar pesan lisan saja.
Namun mantan Kaskostrad, Mayjen TNI (Purn) Kemal Idris, menyatakan lain. Dia mengaku pernah membaca Supersemar. Dia menyatakan Soeharto di Jakarta menyerahkan surat ke Basuki Rachmat untuk diteken Sukarno di Bogor, surat itulah Supersemar.
“Terus Pak Harto tulis surat kepada Sukarno bahwa dia tidak bisa bertanggung jawab kalau Sukarno tidak memberikan kekuasaan kepada dia untuk mengatasi keadaan. Soeharto menyuruh Basuki Rachmat membawa surat itu ke Istana Bogor,” kata Kemal dalam buku Eros Djarot, ‘Misteri Supersemar’.