Sunday, December 10, 2023

Haul Masyayikh PP Nurul Jadid, Kiai Zuhri; Tingkatkan Keilmuan dan Sipirtual

PROBOLINGGO, GUBUKINSPIRASI.com – Pondok Pesantren Nurul Jadid adakan peringatan tahunan Haul Masyayikh yang berlangsung didepan Kantor Pesantren Nurul Jadid, minggu pagi, (27/02/2022). Acara ini dibuka dengan pembacaan surat Al-fatihah yang dipimpin oleh KH Hefni Mahfudz, pemangku wilayah Zaid bin Tsabit (K). Dilanjutkan dengan pembacaan surah Yasin oleh KH Mahfudz Faqih. Sedangkan pembacaan tahlil dipimpin oleh Habib Muhammad al Baali.

Peringatan Haul Masyayikh kali ini dihadiri oleh peserta yang sangat terbatas dengan tetap mempertahankan protokol kesehatan ketat. Meskipun tidak semarak layaknya tidak ada pandemi, tentu harus tetap disyukuri dan diambil hikmahnya. Dalam sambutannya, KH Zuhri Zaini, BA, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid menyampaikan, bahwa menyukuri nikmat tidak cukup kepada Allah SWT sebagai pemberi nikmat meskipun syukur kepadanya adalah yang utama. Namun, perlu adanya rasa terima kasih kepada manusia sebagai perantaranya.

“Tidak akan sempurna syukur kita kepada Allah, kalau kita tidak berterima kasih kepada orang-orang yang oleh Allah ditunjuk untuk menyampaikan nikmatnya,” jelasnya.

Menurut Kiai Zuhri, adanya peringatan haul masyayikh merupakan bentuk syukur dengan mendoakan beliau-beliau (red; masyayikh) dengan harapan mendapat keberkahan dari Allah melalui perantaranya. Mendoakan para masyayikh atau bershalawat kepada Nabi, Kiai Zuhri analogikan dengan bak air di jeding yang sudah penuh.

“Harapan kita mendoakan beliau seperti mengisi bak air yang sudah penuh sehingga kita semua akan mendapatkan luapannya,” tutur beliau.

Selain untuk mendapatkan luapan keberkahannya, juga untuk meneladani para masyayikh baik dalam semangatnya dalam berjuang maupun peran atau kiprah pengabdiannya dalam masyarakat dan pesantren serta keteladanan akhlaknya.

Harapan itu menurut Kiai Zuhri akan berdampak pada interaksi sosial kemasyarakatan. Semisal, ketika seeorang manusia yang meninggal, akankah ada yang bersikap prihatin atau bahkan bergembira akan kepergiannya, bukan innalillah tapi alhamdulillah. Sikap ini harus dipegang teguh dengan meneladani para masyayikh supaya bisa survive dalam hidup berdampingan dengan masyarakat.

“Jadilah engkau anak siapapun, tidak harus berdarah biru. Berupayalah, ketika kila lahir orang-orang disamping kita tersenyum. Akan tetapi, jangan lupa untuk berupaya ketika kita meninggal orang-orang disekitar menangis sedangkan kita tersenyum,” tegas beliau.

Komparasi perbaikan dhahir dan batin

Menurut Kiai Zuhri, dengan meneladani para masyayikh tidak akan melenceng dari khittah garis-garis pengabdian dan perjuangannya. Sebab perkembangan zaman dalam pemikiran Kiai Zuhri, tidak sedikit yang akan bisa mengubah mindset seseorang yang juga berdampak pada perilaku dan kehilangan jati dirinya.

Dalam menyikapi setiap perubahan, Kiai Zuhri berpesan untuk tetap mempunyai standar atau ukuran yang sudah diberikan oleh Allah melalui agama. Perkembangan dan tantangan yang semakin berat dalam sudut pandang moral dan agama tidak semakin baik, meskipun kata Kiai Zuhri, dalam sisi formal dan penampilan semakin baik, tetapi secara substansi semakin tidak baik.

Contoh nyata yang disebutkan oleh kiai Zuhri adalah tentang jilbab. Sebelum marak-maraknya mode jilbab, banyak orang tidak berjilbab tapi mampu amanah. Sedangkan sekarang meskipun jilbabnya rapat masih pacaran, sangat memalukan.

Baca juga :  Ketum dan Sekjen PBNU Demisioner; Hakikat Hidup Adalah Berprasangka Baik

“Jilbab itu bukan sesuatu yang boleh kita lepas. Selain kita memperbaiki penampilan dan citra kita, kita juga harus memperbaiki batin dan hati kita,” tegasnya.

Perbaikan batin tidak akan lepas dari perbaikan dhahir, kecuali orang yang helap. Kiai Zuhri memberikan contoh dengan sebuah cerita. Pada zaman dahulu, ada seseorang yang mencukupkan salat dengan gerakan hati tanpa harus gerakan fisik. Alasannya dikarenakan salat untuk lidzikri, dan ketika nyambung dengan Allah, maka salat tidak butuh gerakan fisiknya. Menurut Kiai Zuhri, orang tersebut sebenarnya tidak paham.

Kiai Zuhri melanjutkan, orang tersebut lalu sowan kepada salah satu Kiai di Madura. seperti layaknya tamu lainnya, orang tersebut juga disuguhi teh. Akan tetapi, cangkir yang disuguhkan kepada orang tersebut kosong tidak diisi teh. Karena pada zaman dahulu, cangkir yang biasa disuguhkan kepada tamu tidak tranparan dan tertutup.

“Berbeda dengan zaman sekarang, sudah transparan masih buka-bukaan. Kalau transparan masih mending, tapi bukaan bisa mmebuat lalat dan debu masuk,” jelasnya.

Orang tersebut yang mengetahui bahwa cangkirnya kosong, langsung protes kepada sang tuan rumah. Kiai yang sekaligus tuan rumah menjawab bahwa orang itu berbeda dengan yang lain. Jadi, menurut kiai tersebut, minum kopi cukup dengan hati saja.

Dilain cerita, Kiai Zuhri juga menyampaikan masa-masa awal almaghfurlah Kiai Zaini ketika beromisili di Karanganyar. Pada saat itu, masih banyak mmasyarakat sekitar yang membuat sesajen-sesajen ketika panen tanamannya. Akan tetapi, Kiai Zaini tidak protes dan memarahi masyarakat. Kiai Zaini juga membuat nasi tumpeng lengkap yang disertai dengan kue, lalu mengundang masyarakat untuk diadakan pembacaan doa-dia di Sawah.

“Hal ini merupakan salah satu cara untuk mengcounter atau meluruskan orang dengan gurau tanpa harus melakukan kekerasan,” tuturnya.

Perkembangan dan perubahan zaman, kata Kiai Zuhri, sama dengan aliran air. Kalau masih keluar dari sumbernya akan sanat jernih, tetapi ketika mengalir sampai ke hilir akan sangat kotor. Memfilter air tentu sangat mudah. Mencegah virus juga tentu mudah, dengan pakai masker, dan dikuatkan dengan vaksin.

“Kalau virus-virus rohani kurang menjadi perhatian. Bahkan, kita sering menghadapkan diri pada virus itu,” tegasnya.

Mengikuti perkembangan zaman memang sangat perlu, tetapi jangan sampai kehilangan jati diri. Semisal, kita harus menguasai Iptek meskipun sudah kalah start dengan negara lain. Akan tetapi, penguasaan itu jangan sampai digunakan untuk berhura-hura yang nantinya bisa tergelincir pada sesuatu yang merugikan orang lain. Jangan sampai menghilangkan tafaqquh fiddin, mungkin harus ditingkatkan.

Muhasabah

Selain meningkatkan keilmuan dan spiritualitas, seseorang juga perlu melakukan muhasabah. Tanpa perlunya muhasabah, seseorang akan merasa dirinya sudah berlari pada masih ditempat yang sama. Dengan adanya muhasabah, kita dituntut untuk paham setiap langkah dan tujuan hidup yang akan dilalui sehingga tidak salah arah. Selain itu, perlu adanya jamaah.

“Tidak bisa kita sendirian dalam hidup yang penuh dengan tantangan,” jelasnya.

Baca juga :  Nasehat, Benarkah Niat baik Berujung Sakit?

Ketika kita keluar dari barisan jamaah, ditakutkan hanya akan menjadi mangsa dari serigala. Dalam banyak riwayat, menurut kiai Zuhri, serigala akan memangsa domba ketika domba itu mencar dari barisannya. Namun, domba yang kelihatannya lebih lemah daripada serigala, ia akan mempunyai kekuatan besar ketika bersama-sama dengan domba yang lain. Dan, serigala meskipun kuat juga tidak akan berani memangsa domba yang terus-menerus bersama-sama.

“Bukan berarti kita hendak berperang terus, tapi gangguan akan selalu ada, insya Allah dengan berjamaah, kita bisa saling tolong menolong dan membela dijalan kebenaran,” tuturnya.

Adanya kebersamaan, khususnya dikalangan Santri, bukan lantas menafikan kelompokkan yang lain. Karena kita hidup dikalangan masyarakat yang majemuk, penuh dengan kelompok yang berbeda dalam banyak hal. Oleh karena itu, jangan sampai terjadi konflik dengan kelompok yang lain. Akan tetapi, maraknya pengguna media sosial terkadang membuat antara yang satu dengan yang lainnya bisa saling menyerang walaupun tidak saling kenal.

“Biasanya kan hanya untuk memperbanyak follower, sehingga nanti banyak juga pendapatan dari youtube misalnya. Ini kan menari diatas penderitaan orang lain,” dawuhnya.

Sebagai santri, sudah semestinya untuk terus menghindari adanya konflik dan perpecahan. Hal itu hanya akan berdampak pada kegelisahan dan sulitnya berpikir jernih. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sudah memberikan keteladanan ketika berhadapan dengan kaum musyrikin yang pada saat itu akan sangat merugikan orang Islam. Namun, tindakan ini ditentang oleh sahabatnya seperti Sayyidina Umar.

Mendapati sahabatnya yang kurang sepaham dengan tindakannya, Nabi Muhammad SAW menjelaskan supaya memberikan keleluasaan dan kebebasan pendapat kepada pihak lain. Hal ini akan berdampak kepada keleluasaan orang-orang Islam ketika menyebarkan syiar dakwah Islam. “Kita bisa kerjasama untuk sesuatu yang sama dengan artian bersepakat, akan tetapi bisa juga bekerjasama dengan sesuatu yang berbeda untuk saling menghargai,” tutupnya.

(Rahmad)

Comment
+ posts

Mahasiswa Biru Kuning Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Nurul Jadid Probolinggo, yang tidak lain hanyalah seorang anak kelahiran pulau kecil Giligenting.

Abdur Rahmad
Abdur Rahmad
Mahasiswa Biru Kuning Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Nurul Jadid Probolinggo, yang tidak lain hanyalah seorang anak kelahiran pulau kecil Giligenting.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Terpopuler

Verified by MonsterInsights