Thursday, June 1, 2023

Industri Pertambangan dan Dampak Terhadap Lingkungan

GUBUKINSPIRASI.com – Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan sumber daya alam tersebut selayaknya dikelola dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented).

Pengelolaan sumber daya alam yang memerhatikan kepentingan lingkungan dan kepentingan manusia akan berdampak pada tercapainya mandat yang telah ditetapkan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Guna menegaskan pentingnya keseimbangan pengelolaan sumber daya alam dan kepentingan manusia, Pemerintah Indonesis mengeluarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU ini dibentuk untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

UUPPLH ini melegitimasi instrumen kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan, yaitu Baku Mutu lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan perizinan lingkungan.

Namun demikian, walaupun peraturan perundangan telah memberikan pedoman yang jelas mengenai pengelolaan sumber daya alam, dalam realitasnya masih terjadi ketimpangan dan pelanggaran di dalam eksploitasi kekayaan alam Indonesia. Salah satunya terjadi dalam industri pertambangan mineral dan batubara.

Berdasarkan data JATAM, sekitar 44% daratan Indonesia telah diberikan untuk sekitar 8.588 izin usaha tambang. Jumlah itu seluas 93,36 juta hektare atau sekitar empat kali lipat dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

Izin-izin tersebut telah mengakibatkan dampak yang besar terhadap hak asasi manusia dan lingkungan.

Catatan akhir tahun 2020 JATAM melaporkan terjadinya 45 konflik pertambangan, dan 22 kasus merupakan kasus pencemaran dan perusakan lingkungan.

Laporan ini diperkuat oleh temuan Anggota Komisi VII DPR RI, Abdul Wahid yang menduga terjadinya pelanggaran hukum seperti kegiatan penambangan di kawasan hutan tanpa izin persetujuan penggunaan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pembiaran lahan pasca tambang tanpa reklamasi, serta pembuangan limbah yang dapat merusak lingkungan hidup.

Temuan lainnya diungkapkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda, Lilly Yurlianty menyatakan limbah yang dihasilkan sektor pertambangan sangat berdampak pada pencemaran lingkungan, misalkan seperti tercemar air sungai yang menjadi sumber bahan baku air minum, terancamnya ekosistem, dan kerusakan struktur tanah sehingga menimbulkan banjir.

Baca juga :  Konservasi Lingkungan, GenBI Malang Goes to Clungup Mangrove Conservation (CMC)

Selain itu, ada beberapa dampak lain dari kegiatan pertambangan terhadap lingkungan hidup, yaitu:

Meningkatnya ancaman tanah longsor

Dilihat dari teknik penambangan secara tradisional, dimana penambang menggali bukit tidak secara berjenjang (trap-trap) namun asal menggali saja dan nampak bukaan penggalian yang tidak teratur, membentuk dinding yang lurus dan menggantung (hanging wall), berpotensi meningkatkan ancaman tanah longsor.

Kerusakan hutan

Penambangan dapat menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat karena lahan pertanian yaitu hutan dan lahan-lahan sudah dibebaskan oleh perusahaan. Hal ini disebabkan adanya perluasan tambang sehingga mempersempit lahan usaha masyarakat, akibat perluasan ini juga bisa menyebabkan terjadinya banjir karena hutan di wilayah hulu yang semestinya menjadi daerah resapan air telah dibabat habis. Hal ini diperparah oleh buruknya tata drainase dan rusaknya kawan hilir seperti hutan rawa.

Penurunan kualitas udara

Seperti pada saat pembakaran batu bara yang melepaskan senyawa beracun termasuk karbon monoksida, karbondioksida, methana, benzene, toluene, xylene, sulphur, arsenik, merkuri dan timbal. Selain itu penurunan kualitas udara disebabkan oleh pembongkaran dan mobilitas pengangkutan hasil tambang dan peralatan tambang dari dalam dan keluar lokasi penambangan.

Sedimentasi dan menurunnya kualitas air

Tingginya kandungan bahan pencemaran air diakibatkan oleh aktivitas penambangan dan pengolahan batu bara (proses pencucian batubara) dimana material bahan pencemar terbawa oleh air limpasan permukaan (surface run-off) ke bagian yang lebih rendah dan masuk ke badan air. Oleh karena itu air menjadi keruh dan pembuangan tanah sisa hasil pendulangan turut meningkatkan jumlah transport sedimen.

Pencemaran lingkungan akibat limbah

Limbah pertambangan biasanya tercemar asam sulfat dan senyawa besi yang dapat mengalir keluar daerah pertambangan. Air yang mengandung kedua senyawa ini akan menjadi asam. Limbah pertambangan yang bersifat asam bisa menyebabkan korosi dan melarutkan logam-logam berat sehingga air yang dicemari bersifat racun dan dapat memusnahkan kehidupan akuatik.

Untuk mengatasi dampak yang terjadi di sector pertambangan mineral dan batubara, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja.

Baca juga :  3 Myths About Coconut Charcoal for Hookah

Dalam UU tersebut, para legislator memasukkan nilai dan syarat lingkungan sebagai suatu proses yang tidak boleh diabaikan bagi pelaku pertambangan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:

  1. Eksplorasi, di mana sebagai tahapan kegiatan usaha pertambangan, maka diperlukan informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
  2. Studi Kelayakan mengharuskan AMDAL serta perencanaan pasca tambang.
  3. Operasi Produksi meminta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
  4. Reklamasi sebagai suatu kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
  5. Kegiatan pasca tambang, kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
  6. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan, termasuk kegiatan reklamasi dan pasca tambang, upaya konservasi sumber daya mineral dan batu bara dan pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.
  7. Pemegang IUP dan IUPK menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah dan menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Untuk penghentian kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batu bara yang dilakukan di wilayahnya.
  9. Pengawasan dari aparat yang berwenang meliputi pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pasca tambang.

Apabila semua pihak konsisten dan menaati perintah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan, dampak-dampak negative industry pertamabangan seharusnya dapat dihindari atau diminimalisasi.


* Sebelumnya dipublikasikan di BHR Institute dengan judul “Dampak Industri Pertambangan Terhadap Lingkungan dan Hak Asasi Manusia

Comment

Rahman
Rahmanhttps://gubukinspirasi.com
Redaktur Gubuk Inspirasi dan pegiat sastra yang menggelar Perpustakaan Jalanan Besuki membaca setiap hari Sabtu dengan slogan, "Baca gratis seperti udara yang kau hirup"

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Terpopuler

Verified by MonsterInsights