Perempuan, sering disandarkan dalam berbagai kontroversi, ada yang melabeli perempuan adalah tiang Negara, sumber penentu kualitas generasi, ada pula yang melabeli perempuan sebagai sumber kehancuran, perpecahan dan masih banyak lainnya.
Sebenarnya semua label dan sebutan itu tergantung bagaimana mereka melihat, dan bagaimana perempuan bersikap, karena Hidup adalah pilihan, dimana setiap pilihan mengandung konsekuensi yang harus diterima.
Menjadi manusia juga resiko, harus siap sedia berkomitmen menjalankan kewajiban yang telah diatur Tuhan. Dalam islam juga dijelaskan “Berlomba-lombalah dalam kebaikan “ (QS: Al-Baqoroh:148).
Termasuk juga menjadi perempuan, Aku, Kamu, Kita, dan Kalian bebas memilih, ingin menjadi perempuan yang bagaimana. Tidak ada batasan untuk setiap manusia belajar dan berbuat kebaikan.
Namun sayangnya, dalam realisasi tidak semudah teori konspirasi. Beberapa kasus membatasi pergerakan perempuan, membandingkan gender untuk memetakan pergerakan.
Menelisik dari tahun-tahun silam, tentang bagaimana perjuangan perempuan-perempuan hebat, tentang bagaimana Cut Meutia yang berani dan setia mendampingi perjuangan suaminya Teuku Cik Tunon, dan meneruskan perjuangan suaminya melawan belanda bersama Pang Naggroe hingga mati terbunuh.
Ketulusan Ibu Fatmawati yang setia menemani suaminya dalam berjuang serta menjahit sang saka merah putih untuk menyempurnakan perjuangan Ir. Soekarno, dan pahlawan emansipasi wanita ibu kita R.A Kartini yang dengan semangat juang merebut hak perempuan. Memperjuangkan kesetaraan hak tidak berdasarkan gender, yang saat ini dapat kita sebagai kaum perempuan rasakan, bagaimana mendapati hak yang setara dengan kaum laki-laki.
Tapi, perjuangan ibu Kartini tidak berhenti sampai disitu, dalam wadah organisasi, PMII memfasilitasi penuh terkait pergerakan dan kebangkitan perempuan (Nahdlatun Nisa’), memberi ruang bagaimana perempuan memiliki ruang gerak menikmati hak nya, berkreasi, berfikir, berinovasi, dan menikmati emansipasi.
Berbicara tentang Nahdlatun Nisa’ secara etimologi Nahdlatun Nisa berarti kebangkitan dari masa kemasa yang gerakannya menjadi pembaharu tanpa membongkar tradisi. kebangkitan merupakan pola pikir dari gaya hidup kekinian zaman now, dimana gerakan gender awal mula diteriakan pada abad ke -18.
Perempuan Indonesia pada masa itu posisinya selalu di deskriditkan dan mengalami ketimpangan social dengan laki-laki dalam mendapatkan hak berpendidikan, kesehatan bahkan ekonomi politik, yang pada akhirnya membuat perempuan Indonesia tergugah untuk menyuarakan haknya.
Pada masa itu perempuan harus berbakti kepada suami, tidak boleh melupakan kodratnya. Tidak boleh bekerja dan berkarir, hingga melahirkan stigma bahwa ruang kerja perempuan hanya di dapur, sumur, dan kasur atau dalam prespektif nya di analogikan perempuan hanya memiliki peran atau tugas 3M Masak (memasak), Macak (berdandan), Manak (Melahirkan anak).
Bahkan, yang lebih mengerikan pada zaman kolonial, perempuan dijadikan budak seks dan objek perdagangan.
Lebih jelasnya, sejarah juga mencatat pada masa penjajahan, perlakuan ketidak adilan yang diterima perempuan Indonesia, yang tidak hanya pada lingkungan sekitar, dalam lingkup keluarga pun juga terjadi, hingga ditulis dalam surat-surat Kartini dari tahun 1878 sampai 1904 yang dibukukan pada permulaan abad ke -20.
Surat-surat Kartini banyak berbicara tentang nilai-nilai tradisi yang cenderung membelenggu perempuan, tergantung pada laki-laki sehingga perempuan menjadi kaum yang tidak berdaya.
Strategi perjuangan yang dilakukan oleh kartini untuk mengatasi permasalahan yang dialami kaumnya adalah dengan melakukan pendekatan pendidikan. Sebagai bukti, adalah berdirinya Indischere Vereeninging yang selanjutnya bernama Perhimpunan Indonesia.
Didirikannya organisasi perempuan tahun 1912 oleh Poetry Mardika atas bantuan Budi Utomo. Sehingga pada masa selanjutnya muncul lah organisasi perempuan yang modern dengan program utamanya sangat baik untuk memajukan perempuan dalam pendidikan dan menghilangkan perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan.
Tidak berhenti sampai disitu, sebagai perempuan, kita tidak bisa hanya menikmati kemerdekaan dalam bergerak melalui perjuangan perebutan emansipasi yang dilakukan oleh R.A Kartini.
Di zaman yang serba digital, revolusi industri 4.0, perempuan tidak bisa hanya diam. Salah satu bentuk realisasi emansipasi adalah turut aktif bergerak dalam pembangunan, berkontribusi dengan baik, berperan aktif dan senantiasa belajar dalam menjadi perempuan yang progresif, inovatif, cerdas dan kreatif, namun tidak meninggalkan kodrat serta fitrah sebagai makhluk Tuhan berjenis kelamin perempuan.
Menafasirkan emansipasi tidak lagi sebagai pemberontakan dan pertumpahan darah. Namun perubahan, kearah lebih baik, lebih aktif dan lebih bermanfaat, untuk sesama, terkhusus untuk bangsa,negara, dan agama. Karena dalam sebuah negara, salah satu factor kemajuannya adalah tidak lepas dari peran perempuan, yang mampu melahirkan pemikir-pemikir, generasi emas yang membanggakan. Tidak lagi tentang perebutan persamaan hak dengan kaum maskulin.
Karena pada zaman sekarang, perempuan sudah memiliki tempat yang setara dengan laki-laki, hanya tentang bagaimana saja perempuan menikmati dan menjalani perannya, menerapkan nahdlatun nisa’ dengan sebaik-baiknya.
Sebab, jika dikaji lebih dalam lagi, perempuan dan laki-laki adalah dua makhluk yang berbeda, dari segi bilogis dan psikis perempuan dan laki-laki berbeda, tentunya tugas dan peran akan berbeda.
Dalam beberapa sektor, memang ada penyekatan peran antara laki-laki dan permepuan, dan itu bersifat paten atau prinsip, seperti imam sholat, seorang perempuan tidak boleh menjadi imam sholat yang makmumnya laki-laki, namun tetap boleh menjadi imam, yang makmumnya sesama perempuan.
Bentuk persamaan hak, juga ada di beberapa sektor, seperti laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk mengenyam pendidikan, berpolitik dan berpendapat, menduduki posisi kepemimpinan, bersaing dalam kontes atau perlombaan.
Realisasi dari hal tersebut sudah terlihat, seperti adanya mantan presiden perempuan, juara olahraga dengan atlet perempuan, dan lain sebagainya. Emansipasi tidak selalu tentang pemberontakan, melainkan tentang gerakan aktif, saling bersinergi dengan laki-laki dalam konteks kebermanfaatan dalam hal baik dan positif.
Memahami peran serta tupoksi, mengerti pengolahan potensi, namun tetap sadar bahwa setiap manusia punya kapasitas dan kapabilitas yang berbeda.
Menjadi perempuan yang berintegritas tinggi, memahami Nahdhatun Nisa’ sebagai wadah perjuangan, menafsirkan emansipasi tidak lagi tentang pemberontakan, tapi lebih kepada melawan kemalasan diri sendiri untuk bergerak dan kesadaran untuk berjuang serta mengabdi untuk kebaikan serta kemaslahatan.
Pelangi indah karena terdiri dari keberagaman warna. Dalam nahwu mubtada perlu Khobar untuk saling menjelaskan, jadi apakah tidak indah, jika kaum maskulin dan feminist saling bersinergi dan membantu dalam pergerakan, perjuangan untuk pengabdian kebaikan???
*Elok Azimatuz Zahroh, seorang perempuan kelahiran 2 Maret 2000 yang kini sibuk berorganisasi sembari menyelesaikan tugas akhirnya. Mahasiswi semester akhir program studi Bahasa Arab di Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penulis bisa disapa melalui E-mail : elokazimatuzzahro@gmail.com

Gubuk Inspirasi adalah portal daring dengan update tulisan harian. Berisi berbagai berita, tulisan dan ide hangat serta ringan nan menarik untuk menemani hari-harimu.
Kirimkan tulisan dan karyamu ke redaksi kami melalui form kirim tulisan yang tersedia atau melalui admin@gubukinspirasi.com