Masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Madura tidak asing lagi dengan Tajin/Jenang Sappar. Makanan yang biasanya dibuat untuk menyambut Bulan Safar atau Sappar, bulan kedua dalam Kalender Hijriyah.
Pada makanan ini terdapat dua unsur utama, yakni tajin/jenang berbentuk bulat yang terbuat dari beras ketan, serta kuah yang terbuat dari gula merah dan santan. Bahkan di beberapa daerah tertentu, Tajin Sappar dibubuhi dengan pelengkap lain, seperti bubur “mutiara” contohnya.
Selain rasanya yang unik, ternyata terdapat makna yang mendalam pada makanan satu ini. Mulai dari proses pembuatan hingga dikonsumsi.
Dalam pembuatan Tajin Sappar yang terbilang cukup mudah, masyarakat biasanya akan membuatnya bersama tetangga. Mereka saling memebagi tugas sehingga lebih efisien, dan meningkatkan keharmonisan satu sama lain.

Setelah masak, Tajin Sappar akan dihidangkan dalam acarra Rebbe (tradisi pembacaan doa) dalam rangka memohon kelancaran rezeki dan perlindungan kepada Allah. Kemudian Tajin Sappar tersebut dibagikan kepada tetangga. Hal ini tentu akan meningkat nilai sosial didalamnya, yaitu menyambung silaturahim karena tidak semata dinimati secara pribadi, juga dibagikan kepada tetangga dan keluarga dekat.
Kuah dari gula merah pada bubur melambangkan warna darah seorang ibu. Sedangkan tajin padat seperti kelereng adalah melambangkan bibit atau embrio, sedangkan santan putih di tengah melambang air mani (sperma) dari ayah. Secara garis besar, Tajin Sappar mengingatkan kepada seseorang terhadap asal-muasal manusia, agar tidak sombong dan selalu mengasihi sesama, termasuk makhluk ciptaan Allah.
Bentuk bulat dari Tajin itu juga merupakan penggambaran siklus kehidupan manusia yang terus berputar, kadang di bawah dan kadang di atas. Karena terbuat dari ketan yang lengket, maka Tajin-tajin tersebut akan saling melekat satu sama lain, yang bermakna bahwa kehidupan manusia tidak akan terlepas dari hubungan dengan manusia lainnya.