Di Pulau Sribuluka, sebuah pulau yang cukup jauh di tengah lautan, sebuah pulau di mana gerimis turun seperti warna tembaga, segalanya dinyalakan dengan kesedihan.
Tidak seperti wilayah lain di Indonesia, Pulau Sribuluka identik dengan sesuatu yang sedih dan menyakitkan. Konon, dahulu ia adalah pulau kecil yang terasing. Letaknya juga bukan di perbatasan sehingga tidak menjadi rebutan negara mana pun. Pada masa perang kemerdekaan, pulau itu kemudian dijadikan tempat pembuangan tahanan politik, tahanan perang, dan terkadang pula tahanan perasaan. Kapal-kapal kecil silih berganti mengirimkan orang-orang yang dianggap pemberontak, musuh politik, tokoh yang harus dihilangkan, hingga orang-orang patah hati yang mengirimkan dirinya sendiri. Sejak saat itu, pulau yang awalnya tanpa nama itu diberi nama Sribuluka karena ada banyak luka yang mesti diasingkan ke sana.
Seiring berjalannya waktu, orang-orang terasing itu pun membentuk masyarakat tersendiri. Jika mereka awalnya hanya tinggal di tempat-tempat terbuka semacam hutan dan tepi pantai, kini mereka mulai hidup layaknya sebuah perkampungan. Maklum, karena yang terbuang itu tidak semuanya preman pasar, tapi banyak yang memiliki kecerdasan, yakni para pemikir dan para cendekiawan yang dianggap membahayakan stabilitas negara. Mereka lalu bergotong-royong untuk bertahan hidup. Namun tetap saja, penduduk Pulau Sribuluka adalah orang-orang yang identik dengan kesedihan. Rumah-rumah yang mereka bangun menampakkan suasana muram, tanpa harapan. Jalan-jalan setapak seperti jalan filsuf yang mengajak pada pengasingan diri. Setiap sudut pulau dibuat sedemikian rupa memancarkan kesengsaraan. Tampaknya penduduk Sribuluka telah membudidayakan kesedihan. Dan dari sekian hasil produksi kesedihan, penemuan terbaik mereka adalah: Pembangkit Listrik Tenaga Air Mata.
Dikarenakan menjadi pulau terasing, Pulau Sribuluka tidak punya pasokan listrik sehingga awalnya para penduduk menggunakan perapian, lampu minyak, dan obor. Seiring waktu, mereka berusaha merancang sebuah pembangkit listrik di tepi pantai. Para penduduk hilir mudik ke daratan seberang untuk mengumpulkan alat-alat yang digunakan untuk merakil mesin pembangkitnya. Kombinasi para pekerja, para pemikir, para penyendiri, membuat proyek itu bisa selesai dalam waktu enam bulan. Para pemikir menyumbang konsep tentang mesin dan instalasi, para pekerja menyumbang tenaga, para penyendiri tidak menyumbang apa-apa. Prof. Nalea, seorang ahli mesin yang dibuang karena mencoba membuat mobil dalam negeri dan mau impor, adalah orang yang paling berpengaruh dalam proyek ini. la pula yang akhirnya meresmikan dan memberinya nama Pembangkit Listrik Tenaga Air Mata. Tentu sumbernya tetap dari air laut. Penamaan air mata hanya sebagai dramatisasi, barangkali karena kedua air itu sama-sama memiliki rasa asin. (*)
*) Cerpen ini sudah pernah dipublikasi di harian Tribun Jabar *) Sungging Raga, pernah kuliah di jurusan Matematika Universitas Gadjah Mada. Buku kumpulan cerpennya Sarelgaz (Indie Book Corner, 2014).
Penikmat sastra dan musik, menghabiskan waktu meniti makna dalam setiap bait kata ditemani secangkir kopi (yang tidak terlalu manis) di pagi hari.
Redaktur gubuk sastra dan cerpen minggu di Gubukinspirasi.com