Puisi memang menjadi primadona bagi para penikmat sastra. Bagaimana tidak, struktur keindahannya dapat membangkitkan emosi, menginspirasi, mampu menggugah hati, serta mempengaruhi suasana hati pembacanya.
Hal tersebut terjadi karena puisi dapat menjadi sarana ekspresi yang sangat kuat bagi penulis, memungkinkan penyair-selaku penulis puisi-untuk menumpahkan pemikiran dan isi hati mereka dengan merangkai beberapa baris tulisan berisi sajak – sajak puisi.
Dalam pembuatan sebuah puisi, biasanya penyair menggunakan imajinasi liar dalam dirinya untuk menulis puisi. Setiap puisi yang ditulis harus tetap memperhatikan diksi, kata konkret, rima dan irama yang menjadi struktur puisi.
Selain itu, seorang penyair juga sering menggunakan beberapa kata simbolik disebut dengan majas. Majas ini melakukan penyimpangan dari makna suatu kata yang biasa digunakan.
Namun, majas menjadikan puisi yang dibuat oleh penyair dapat menggambarkan dunia dengan cara unik dan subjektif, penyair juga dapat memberikan sudut pandang baru terhadap realitas yang biasa dialami sehari – hari.
Namun, puisi yang menjadi primadona di kalangan para penikmat sastra tak lepas dari perdebatan soal estetika dan makna yang terdapat didalamnya. Kerap kali terjadi, saat penyair membuat sebuah puisi mereka dilema oleh kedua hal yaitu tentang apa yang harus diunggulkan dalam sebuah puisi saat dituliskan.
Apakah lebih mengedepankan segi estetika yang lebih menonjolkan nilai – nilai puitis sehingga memperhatikan kata – kata, irama, ritme, diksi, dan unsur lain sebuah puisi, ataukah lebih mendobrak segi pemaknaan bahkan substansinya tanpa terlalu memperhatikan aspek yang memberi nilai – nilai puitis.
Keduanya menarik untuk dipertimbangkan, karena puisi dapat dikatakan puisi jika nilai – nilai puitisnya menonjol pada tiap sajak yang ada.
Selain itu, pemaknaan juga menjadi poin penting para pembaca dalam menaklukkan dan memahami sebuah karya puisi. Meskipun keduanya sama – sama bertujuan memberikan yang terbaik untuk sebuah puisi, tapi tetap saja cara pendekatannya berbeda.
Sejatinya, tidak perlu ada perdebatan antara dua hal yang tidak ada ujungnya tersebut. Setiap penyair harus memahami unsur – unsur estetika yang puitis dan tau bagaimana menyeimbangkannya dalam baris puisi yang ada.
Makna sebuah puisi juga dapat ditemukan dengan mencoba memahami tiap – tiap kata yang dituliskan. Bahwasannya puisi yang bagus adalah puisi yang bisa dimaknakan dengan berbagai macam pemaknaan.
Namun celakanya, ada banyak penyair yang kerap terjebak antara mengejar unsur estetika atau lebih mendahulukan diri untuk memperdalam maknanya.
Beberapa penyair terlanjur berfokus pada unsur estetika sebuah puisi dan melupakan segi pemaknaan, sehingga puisinya menjadi seperti kosong tak berarti meskipun unsur estetikanya menonjol.
Sebaliknya, ada beberapa penyair yang lebih mendahulukan pemaknaan puisinya, sehingga nilai – nilai puitis yang seharusnya menonjol bagi puisi, menjadikannya kehilangan sentuhan puitisnya.
Oleh sebab itu, karena ketidakselarasan antara keduanya, menjadikan puisi yang dibuat oleh penyair menjadi hambar untuk dibaca. (*)
Echa Edelweiss Putri Andina, Mahasiswi program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.