Dalam praktiknya Kehidupan manusia seringkali dipenuhi dengan kekeliruan yang dibiasakan dan dianggap sebagai norma ajaran yang mungkin sudah disadari atau tidak. Kekeliruan-kekeliruan ini sering terjadi karena pengaruh lingkungan, budaya, dan pendidikan yang salah, serta kurangnya pemahaman yang benar.
Meskipun terkesan kecil atau sepele, namun kekeliruan-kekeliruan ini dapat memiliki dampak besar dalam kehidupan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam artikel ini, kita akan mengulas beberapa dari sekian banyak kekeliruan yang seringkali dibiasakan dalam kehidupan manusia.
Pertama, kekeliruan yang sering dibiasakan adalah mengutamakan materi dan kekayaan sebagai tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan.
Di zaman ini dimana masyarakat yang serba konsumeristik, kekayaan dan harta seakan menjadi prioritas utama bagi kebanyakan orang. Banyak individu yang mengukur kesuksesan hidup berdasarkan seberapa banyak harta yang dimiliki, seberapa besar penghasilan mereka, dan seberapa mewah gaya hidup yang bisa mereka tunjukkan.
Kekeliruan ini mengarahkan manusia pada materialisme dan sering mengorbankan nilai-nilai aspek penting lainnya seperti moralitas, kebahagiaan batin, keharmonisan, dan hubungan sosial yang bermakna.
Seharusnya, keberhasilan dan kebahagiaan hidup tidak hanya diukur dari sisi materi, tetapi juga melibatkan aspek-aspek non-material lainnya, seperti kebahagiaan keluarga, kesehatan, dan kontribusi yang nyata bagi masyarakat bangsa dan juga negara.
Kedua, kekeliruan yang sering dibiasakan adalah memprioritaskan aksi-aksi instan dan gratifikasi segera.
Di zaman digital saat ini, segala sesuatu menjadi sangat mudah diakses dan dapat diselesaikan dengan sangat cepat. Hal ini mengakibatkan manusia menjadi terbiasa untuk mendapatkan kepuasan secara instan, kurangnya kesabaran dan mudahnya putus asa saat menghadapi rintangan atau kesulitan dalam hidup.
Kekeliruan ini juga tercermin dalam kurangnya perhatian dan investasi yang diberikan pada hubungan antarmanusia yang bernilai jangka panjang, seperti persahabatan, cinta, dan keluarga. Seharusnya, manusia perlu memahami pentingnya kesabaran, kegigihan, dan kerja keras dalam setiap meraih tujuan hidup yang berarti, serta mengapresiasi proses perjalanan untuk mencapai keberhasilan yang sejati.
Ketiga, kekeliruan yang biasa dibiasakan ini adalah mengutamakan image dan penampilan fisik daripada kebaikan hati dan kepribadian yang baik.
Dalam era media sosial yang sangat menggiurkan disebabkan semua dapat diakses dengan sangat praktis, banyak individu yang terjebak dalam meningkatkan citra mereka di dunia virtual, menciptakan kesan yang sempurna dan mengabaikan nilai-nilai moral dan kepribadian yang baik.
Manusia seringkali berlomba-lomba untuk tampil sempurna di media sosial, mencari validitas dan perasaan senang dari jumlah like dan komentar yang diterima. Kekeliruan ini membawa kita pada kehidupan yang dangkal dan permukaan, di mana penampilan fisik menjadi prioritas utama, sedangkan nilai-nilai substansial seperti kejujuran, integritas, dan empati terabaikan.
Kita perlu mengubah paradigma ini dan kembali mengutamakan pencapaian kebaikan dalam diri dan melihat penampilan fisik hanya sebagai bentuk fisikiah yang sementara.
Keempat, kekeliruan yang sering dibiasakan adalah mengedepankan persaingan daripada kerjasama dan solidaritas.
Masyarakat sering mengajarkan manusia untuk terus bersaing dan berlomba-lomba satu sama lain demi mencapai kesuksesan dan kepuasan pribadi. Dalam lingkungan yang kompetitif, manusia menjadi terbiasa merasa takut kalah dan selalu ingin menjadi yang terbaik.
Ini mengakibatkan hilangnya rasa empati, kooperatif, dan kepedulian sosial. Padahal, hanya dengan kerjasama dan solidaritas kita dapat mencapai kemajuan yang berkelanjutan dan membangun lingkungan yang harmonis serta adil bagi semua.
Kelima, kekeliruan yang sering dibiasakan ini adalah mengokohkan stereotype dan prasangka sebagai cara berpikir.
Manusia sering kali terperangkap dalam pandangan sempit dan prasangka terhadap orang lain berdasarkan suku, agama, ras, dan latar belakang lainnya. Kekeliruan ini menghambat kita untuk melihat keunikan dan keberagaman sebagai ladang yang subur untuk saling mempelajari dan berinteraksi.
Harus ada usaha aktif untuk memahami, menghormati, dan menghargai perbedaan, sehingga mampu membangun masyarakat yang inklusif dan saling mendukung.
Kesimpulannya, dalam kehidupan manusia yang penuh dengan kekeliruan yang seringkali dibiasakan. Mulai dari mengutamakan materi, mencari kepuasan instan, memprioritaskan penampilan fisik (pencitraan), berkompetisi secara berlebihan, sampai pada prasangka terhadap perbedaan. Namun, dengan kesadaran diri dan upaya adalah cara untuk mengubah mindset (pola pikir) serta perilaku yang keliru, manusia dapat melawan kekeliruan tersebut dan membangun kesadaran yang berkehidupan lebih baik, berlandaskan pada nilai-nilai kehidupan yang benar dan sesuai tuntutan alam, seperti kebaikan hati, kesabaran, kerjasama, dan toleransi.